Hidup hanya menyediakan dua pilihan: mencintai pekerjaan atau
mengeluh setiap hari. Jika tidak bisa mencintai pekerjaan, maka kita hanya akan
memperoleh “5-ng”: ngeluh, ngedumel, ngegosip, ngomel, dan ngeyel.
Punya
masalah dengan semangat kerja? Jangan gundah gulana, Anda tidak sendirian.
Banyak orang lain yang punya problem serupa. Namun, bukan tidak ada solusinya!
Hampir semua
orang pernah mengalami gairah kerjanya melorot. “Itu lumrah,” kata Jansen
Sinamo, ahli pengembangan sumber daya manusia dari Institut Darma Mahardika, Jakarta . Meski lumrah,
“impotensi” kerja harus diobati.
Cara terbaik
untuk mengatasinya, menurut Jansen, dengan langsung membenahi pangkal
masalahnya, yaitu motivasi kerja. Itulah akar yang membentuk etos kerja. Secara
sistematis, Jansen memetakan motivasi kerja dalam konsep yang ia sebut sebagai
“Delapan Etos Kerja Profesional”. Sejak 1999, ia aktif mengampanyekan gagasan
itu lewat berbagai pelatihan yang ia lakukan. Memahat yang tak terlihat
Etos pertama: kerja adalah rahmat.
Apa pun
pekerjaan kita, entah pengusaha, pegawai kantor, sampai buruh kasar sekalipun,
adalah rahmat dari Tuhan. Anugerah itu kita terima tanpa syarat, seperti halnya
menghirup oksigen dan udara tanpa biaya sepeser pun.
Bakat dan
kecerdasan yang memungkinkan kita bekerja adalah anugerah. Dengan bekerja,
setiap tanggal muda kita menerima gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Dengan bekerja kita punya banyak teman dan kenalan, punya
kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan, dan masih banyak lagi. Semua itu
anugerah yang patut disyukuri. Sungguh kelewatan jika kita merespons semua
nikmat itu dengan bekerja ogah-ogahan.
Etos kedua: kerja adalah amanah.
Apa pun
pekerjaan kita, pramuniaga, pegawai negeri, atau anggota DPR, semua adalah
amanah. Pramuniaga mendapatkan amanah dari pemilik toko. Pegawai negeri
menerima amanah dari negara. Anggota DPR menerima amanah dari rakyat. Etos ini
membuat kita bisa bekerja sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela, misalnya
korupsi dalam berbagai bentuknya.
Etos ketiga: kerja adaah panggilan.
Apa pun
profesi kita, perawat, guru, penulis, semua adalah darma. Seperti darma
Yudistira untuk membela kaum Pandawa. Seorang perawat memanggul darma untuk
membantu orang sakit. Seorang guru memikul darma untuk menyebarkan ilmu kepada
para muridnya. Seorang penulis menyandang darma untuk menyebarkan informasi
tentang kebenaran kepada masyarakat. Jika pekerjaan atau profesi disadari
sebagai panggilan, kita bisa berucap pada diri sendiri, “I’m doing my best!”
Dengan begitu kita tidak akan merasa puas jika hasil karya kita kurang baik
mutunya.
Etos keempat: kerja adalah aktualisasi.
Apa pun
pekerjaan kita, eutah dokter, akuntan, ahli hukum, semuanya bentuk aktualisasi
diri. Meski kadang membuat kita lelah, bekerja tetap merupakan cara terbaik
untuk mengembangkan potensi diri dan membuat kita merasa “ada”. Bagaimanapun
sibuk bekerja jauh lebih menyenangkan daripada duduk bengong tanpa pekenjaan.
Secara
alami, aktualisasi diri itu bagian dari kebutuhan psikososial manusia. Dengan
bekerja, misalnya, seseorang bisa berjabat tangan dengan rasa pede ketika
berjumpa koleganya. “Perkenalkan, nama saya Miftah, dari Bank Kemilau.” Keren ‘kan ?
Etos kelima: kerja itu ibadah.
Tak peduli
apa pun agama atau kepercayaan kita, semua pekerjaan yang halal merupakan
ibadah. Kesadaran ini pada gilirannya akan membuat kita bisa bekerja secara
ikhlas, bukan demi mencari uang atau jabatan semata. Jansen mengutip sebuah
kisah zaman Yunani kuno seperti ini:
Seorang
pemahat tiang menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengukir sebuah puncak
tiang yang tinggi. Saking tingginya, ukiran itu tak dapat dilihat langsung oleh
orang yang berdiri di samping tiang. Orang-orang pun bertanya, buat apa
bersusah payah membuat ukiran indah di tempat yang tak terlihat? Ia menjawab,
“Manusia memang tak bisa menikmatmnya. Tapi Tuhan bisa melihatnya.” Motivasi
kerjanya telah berubah menjadi motivasi transendental.
Warisan tak
ternilai
Etos keenam: kerja adalah seni.
Apa pun
pekerjaan kita, bahkan seorang peneliti pun, semua adalah seni. Kesadaran ini
akan membuat kita bekerja dengan enjoy seperti halnya melakukan hobi. Jansen
mencontohkan Edward V Appleton, seorang fisikawan peraih nobel. Dia mengaku,
rahasia keberhasilannya meraih penghargaan sains paling begengsi itu adalah
karena dia bisa menikmati pekerjaannya.
“Antusiasmelah
yang membuat saya mampu bekerja berbulan-bulan di laboratorium yang sepi,”
katanya. Jadi, sekali lagi, semua kerja adalah seni. Bahkan ilmuwan seserius
Einstein pun menyebut rumus-rumus fisika yang njelimet itu dengan kata sifat
beautiful.
Etos ketujuh: kerja adalah kehormatan.
Seremeh apa
pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika bisa menjaga kehormatan
dengan baik, maka kehormatan lain yang lebih besar akan datang kepada kita.
Jansen
mengambil contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan Indonesia
kawakan ini tetap bekerja (menulis), meskipun ia dikucilkan di Pulau Buru yang
serba terbatas. Baginya, menulis merupakan sebuah kehormatan. Hasilnya, kita
sudah mafhum. Semua novelnya menjadi karya sastra kelas dunia.
Etos kedelapan: kerja adalah pelayanan.
Apa pun
pekerjaan kita, pedagang, polisi, bahkan penjaga mercu suar, semuanya bisa
dimaknai sebagai pengabdian kepada sesama.
Pada
pertengahan abad ke-20 di Prancis, hidup seorang lelaki tua sebatang kara
karena ditinggal mati oleh istri dan anaknya. Bagi kebanyakan orang, kehidupan
seperti yang ia alami mungkin hanya berarti menunggu kematian. Namun bagi dia,
tidak. Ia pergi ke lembah Cavennen, sebuah daerah yang sepi. Sambil
menggembalakan domba, ia memunguti biji oak, lalu menanamnya di sepanjang
lembah itu. Tak ada yang membayarnya. Tak ada yang memujinya. Ketika meninggal
dalam usia 89 tahun, ia telah meninggalkan sebuah warisan luar biasa, hutan
sepanjang 11 km! Sungai-sungai mengalir lagi. Tanah yang semula tandus menjadi
subur. Semua itu dinikmati oleh orang yang sama sekali tidak ia kenal.
Di Indonesia
semangat kerja serupa bisa kita jumpai pada Mak Eroh yang membelah bukit untuk
mengalirkan air ke sawah-sawah di desanya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Juga pada
diri almarhum Munir, aktivis Kontras yang giat membela kepentingan orang-orang
yang teraniaya.
“Manusia
diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan dilengkapi keinginan untuk berbuat
baik,” kata Jansen. Dalam bukunya Ethos21, ia menyebut dengan istilah rahmatan
lii alamin (rahmat bagi sesama).
Pilih
cinta atau kecewa
Menurut Jansen, kedelapan etos kerja yang ia gagas itu bersumber
pada kecerdasan emosional spiritual. Ia menjamin, semua konsep etos itu bisa
diterapkan di semua pekerjaan.
“Asalkan
pekerjaan yang halal,” katanya. “Umumnya, orang bekerja itu ‘kan hanya untuk nyari gaji. Padahal
pekerjaan itu punya banyak sisi,” katanya.
Kerja bukan
hanya untuk mencari makan, tetapi juga mencari makna. Rata-rata kita
menghabiskan waktu 30 - 40 tahun untuk bekerja. Setelah itu pensiun, lalu
manula, dan pulang ke haribaan Tuhan. “Manusia itu makhluk pencari makna. Kita
harus berpikir, untuk apa menghabiskan waktu 40 tahun bekerja. Itu ‘kan waktu yang sangat
lama,” tambahnya.
Jika aturan
pertama tidak bisa kita dapatkan, gunakan aturan kedua: kita harus belajar
mencintai pekerjaan. Kadang kita belum bisa mencintai pekerjaan karena belum
mendalaminya dengan benar. “Kita harus belajar mencintai yang kita punyai
dengan segala kekurangannya,” kata sarjana Fisika ITB yang lebih suka dengan
dunia pelatihan sumber daya manusia ini.
Hidup hanya
menyediakan dua pilihan: mencintai pekerjaan atau mengeluh setiap hari. Jika
tidak bisa mencintai pekerjaan, maka kita hanya akan memperoleh “5-ng”: ngeluh,
ngedumel, ngegosip, ngomel, dan ngeyel. Jansen mengutip filsuf Jerman, Johann
Wolfgang von Goethe, “It’s not doing the thing we like, but liking the thing we
have to do that makes life happy.”
“Dalam
hidup, kadang kita memang harus melakukan banyak hal yang tidak kita sukai.
Tapi kita tidak punya pilihan lain. Tidak mungkin kita mau enaknya saja. Kalau
suka makan ikan, kita harus mau ketemu duri,” ujar pria yang kerap disebut
sebagai Guru Etos ini.
Dalam dunia
kerja, duri bisa tampil dalam berbagai macam bentuk. Gaji yang kecil, teman
kerja yang tidak menyenangkan, atasan yang kurang empatik, dan masih banyak
lagi. Namun, justru dari sini kita akan ditempa untuk menjadi lebih berdaya
tahan.
Bukan gila kerja
Dalam urusan
etos kerja, bangsa Indonesia
sejak dulu dikenal memiliki etos kerja yang kurang baik.
Di
jaman kolonial, orang-orang Belanda sampai menyebut kita dengan sebutan
yang mengejek, in lander pemalas. Ini berbeda dengan, misalnya, etos Samurai
yang dimiliki bangsa Jepang. Mereka terkenal sebagai bangsa pekerja keras dan
ulet.
Namun,
Jansen menegaskan, pekerja keras sama sekali berbeda dengan workaholic. Pekerja
keras bisa membatasi diri, dan tahu kapan saatnya menyediakan waktu untuk
urusan di luar kerja. Sementara seorang workaholic tidak. Dalam pandangan
Jansen, kondisi kerja yang menyenangkan adalah kerja bareng semua pihak. Bukan
hanya bawahan, tapi juga atasan.
Sering
seorang atasan mengharapkan bawahannya bekerja keras, sementara ia sendiri
secara tidak sengaja melakukan sesuatu yang melunturkan semangat kerja bawahan.
Jansen memberi contoh, atasan yang mengritik melulu jika bawahan berbuat
keliru, tapi tak pernah memujinya jika ia menunjukkan prestasi.
Secara
manusiawi hal itu akan menyebabkan bawahan kehilangan semangat bekerja. Buat
apa bekerja keras, toh hasil kerjanya tak akan dihargai. Ingat, pada dasarnya
manusia menyukai reward.
Konosuke
Matsushita, pendiri perusahaan Matsushita Electric
Industrial (MET) punya teladan yang bagus. Pada zaman resesi dunia tahun
1929-an, pertumbuhan ekonomi Jepang anjiok tajam. Banyak perusahaan mem-PHK
karyawan. MEI pun terpaksa memangkas produksi hingga separuhnya. Namun,
Matsushita menjamin tak ada satu karyawan pun yang bakal terkena PHK.
Sebagai
gantinya, ia mengajak semua karyawan bekerja keras. Karyawan-karyawan bagian
produksi dilatih untuk menjual. Hasilnya benar-benar ruarrr biasa. Mereka bisa
berubah menjadi tenaga marketing andal, yang membuat Matsushita menjadi salah
satu perusahaan terkuat di Jepang.
Bagaimana
dengan Anda?
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon